Pandemi Covid-19 memberikan dinamika dalam industri farmasi di Indonesia. Pasar farmasi mengalami kontraksi -1,6 persen yang turun drastis dari 5-10 persen dalam kondisi normal. Sementara itu, juga terjadi supply shock yang membuat negara kesulitan mendapatkan Bahan Baku Obat (BBO) akibat 90% kebutuhan BBO berasal dari impor. Urgensi membangun kemandirian farmasi dalam negeri untuk BBO, obat jadi, dan alat kesehatan perlu dilakukan. Dexa Group sebagai salah satu industri farmasi nasional berperan mendorong terwujudnya kemandirian farmasi.
Demikian hal yang mengemuka dalam acara Advisory Board Sharing Session #7 dengan pembicara Pimpinan Dexa Group Bapak Ferry Soetikno, M.Sc, MBA dan moderator Dekan Sekolah Farmasi ITB, Prof. Apt. I Ketut Adnyana, Ph.D. Sharing Session yang digelar oleh Sekolah Farmasi Institut Teknologi Bandung (ITB) dan diselenggarakan secara virtual ini, mengangkat topik “Dinamika Industri Farmasi Indonesia”, pada Sabtu 2 Juli 2022.
Dalam acara tersebut, Bapak Ferry membuka dengan memaparkan bagaimana dinamika pasar farmasi di saat pandemi Covid-19 hingga saat ini. Menurut beliau, setelah pandemi Covid-19 menurun, pasar farmasi mengalami turn around 18 persen dengan besaran pasar mencapai Rp 125 Triliun pada 2021.
Dinamika industri farmasi di masa pandemi ditandai dengan terjadinya perubahan perilaku konsumen terutama berbelanja produk kesehatan secara online, serta berkurangnya pertemuan langsung antara penyedia jasa medis dan pasien di fasilitas kesehatan saat puncak pandemi.
“Kita juga menyambut Menteri Kesehatan Bapak Budi Gunadi Sadikin meluncurkan program transformasi kesehatan di mana ditunjukkan pilar penanganan secara primer, tentunya dengan konteks preventif. Kita juga melihat bagaimana pola pikir, sikap hidup, lifestyle dari penduduk Indonesia juga harus berubah, daripada kita mengobati atau kuratif, kita juga harus bergeser pada langkah-langkah preventif. Preventif mencegah sakit dan yang lebih menarik lagi preventif untuk tidak mengalami komplikasi dari penyakit-penyakit kronis,” jelas Bapak Ferry.
Urgensi Membangun Kemandirian
Selain hal itu, Indonesia juga mengalami kesulitan dalam hal supply chain. Dalam hal transportasi, baik distribusi melalui udara dan laut mengalami hambatan atau keterlambatan dan terjadi peningkatan biaya. Untuk itu pemerintah pada 12 Juni 2020, Menteri Koordinator bidang Kemaritiman dan Investasi RI Bapak Luhut Binsar Pandjaitan memanggil para menteri untuk membicarakan urgensi membangun kemandirian yang mencakup 3 hal yakni BBO, obat jadi, dan alat kesehatan (alkes).
Urgensi ini dibangun dengan lintas koordinasi dan menyatukan kekuatan bangsa, serta dengan cepat mengurangi ketergantungan impor dan mulai menggunakan apa yang kita produksi di dalam negeri.
Indonesia sendiri memiliki kekuatan, di mana industri swasta nasional dan Badan Usaha Milik Negara (BUMN) menghasilkan 80% in value obat-obatan yang ada di Indonesia. Sedangkan perusahaan multinasional memberikan kontribusi sekitar 20%. Jika dalam unit, kontribusi perusahaan farmasi nasional memberikan kontribusi 90-95 %.
“Angka ini penting karena jika kita bandingkan dengan negara-negara di ASEAN seperti Thailand, komposisinya 60% multinasional, 40% swasta nasional. Demikian juga di Filipina dan sebagainya,” kata Bapak Ferry.
Dalam urgensi membangun kemandirian, pemerintah telah meluncurkan berbagai inisiatif yakni melalui program Peningkatan Penggunaan Produksi Dalam Negeri (P3DN), kebijakan Tingkat Komponen Dalam Negeri (TKDN) untuk e-catalog 2021 – 2022, program Bangga Buatan Indonesia (BBI), dan Formularium Fitofarmaka.
Selain itu, program transformasi kesehatan juga diluncurkan. Hal ini karena healthcare spending Indonesia yang masih rendah dibandingkan negara lain seperti Malaysia dan Singapura. Kondisi ini juga menunjukkan ruang ekspansi dan pertumbuhan industri farmasi yang masih besar.
“Pada Sidang MPR 16 Agustus 2021 sambutan Pak Presiden Jokowi mengatakan kemandirian industri obat, vaksin, dan alkes masih menjadi kelemahan serius yang harus kita pecahkan. Pimpinan negara memberikan statement, ini kelemahan serius dan kita punya kekuatan untuk membangun dan percepat pengembangan industri kesehatan,” kata Bapak Ferry.
Terhadap masalah kemandirian, Gabungan Pengusaha Farmasi mendukung road map kemandirian farmasi melalui bahan baku obat, produk biological, vaksin, natural dan chemical API.
“Untuk setiap jalur sudah ada beberapa industri farmasi bahan baku yang komitmen dan berinvestasi mulai membangun industri farmasi di Indonesia. Dexa juga terlibat sejak 2005 melalui DLBS karena kita meyakini biodiversitas Indonesia harus dimanfaatkan,” kata Bapak Ferry.
Dexa Group Berperan Mendorong Kemandirian Farmasi
Dexa Laboratories of Biomolecular Sciences (DLBS) melakukan riset bioactive fraction di setiap penyakit yang disasar. Bapak Ferry mencontohkan produk-produk hasil riset DLBS seperti Inaclin untuk diabetes melitus, Redacid, dan Asimor.
“Jadi yang kita kembangkan ada value chain yang panjang. Produksi bahan baku herbal libatkan dari petani, bahan baku OMAI, dan hasilkan fitofarmaka untuk digunakan di pasar domestik seperti Jaminan Kesehatan Nasional,” jelas Bapak Ferry.
Hasil riset Dexa Medica saat ini terdapat 3 produk fitofarmaka dari 5 produk fitofarmaka yang ada, serta masih banyak kandidat untuk proses riset.
“Kesimpulannya kegitan yang kita lakukan tidak selalu mulus, kegiatan riset tidak mudah, tapi kita terus penuhi kaidah yang benar dan evidence-based, HAKI untuk patenkan dan sekarang bagaimana kita perkaya fitofarmaka secara terencana agar fitofarmaka bertambah dan mencukupi, agar ketergantungan BBO bisa berkurang jika dikerjakan secara bersama,” tutup Bapak Ferry.